slamat datang

Pikiran ada tempatnya sendiri
dari pikiran itu bisa mengubah surga menjadi neraka atau neraka menjadi surga.

Minggu, 18 Agustus 2013

Anemia Hemolitik Auto Imun


Anemia hemolitik autoimun adalah suatu kelainan dimana terdapat antibodi tertentu pada tubuh kita yang menganggap eritrosit sebagai antigen non-selfnya, sehingga menyebabkan eritrosit mengalami lisis.

Etiologi
Idiopatik, sampai sekarang masih belum jelas.

Patofisiologi
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan anemia hemolitik autoimun. Yaitu aktivasi komplemen dan aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
·         aktivasi komplemen. Ada dua cara aktivasinya, klasik dan alternatif. (1) Kalau klasik biasanya diaktifkan oleh antibodi IgM, IgG1, IgG2 dan IgG3. Mulai dari C1, C4, dst hingga C9, nanti ujungnya terbentuklah kompleks penghancur membran yg terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyusup ke membran sel eritrosit dan mengganggu aliran transmembrannya, sehingga permeabilitas membran eritrosit normal akan terganggu, akhirnya air dan ion masuk, eritrosit jadi bengkak dan ruptur. (2) Untuk aktivasi alternativ hanya berbeda urutan pengaktivannya, ujungnya ntar molekul C5b yang akan menghancurkan membran eritrosit.
·         aktivasi mekanisme seluler. Mekanismenya, jika ada eritrosit yang tersensitisasi oleh komponen sistem imun seperti IgG atau kompemen, namun tidak terjadi aktivasi sistem komplemen lebih lanjut, maka ia akan difagositosis langsung oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses ini dikenal dg mekanismeimmunoadhearance.

Diagnosis
Untuk mendiagnosis seseorang menderita anemia hemolitik, dilakukan pemeriksaan Commb’s Test. Ada dua cara:
1.      Direct Coomb’s test. Sel eritrosit pasien dibersihkan dari protein-protein yang melekat, lalu direaksikan dengan antibodi monoklonal seperti IgG dan komplemen seperti C3d. Jika terjadi aglutinasi, maka hasilnya positif. Berarti IgG atau C3d atau keduanya melekat di eritrosit tersebut.
2.      Indirect Coomb’s test. Serum pasien diambil, direaksikan dengan sel-sel reagen yaitu sel darah merah yang sudah terstandar. Jika terjadi aglutinasi, maka hasilnya positif. Berarti ada imunoglobulin di serum tersebut yang bereaksi dengan sel-sel reagen.

Klasifikasi
Anemia hemolitik autoimun ada dua jenis, tipe hangat dan tipe dingin.
A. Tipe Hangat
·         Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal (37 derajat celcius).
·         Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul perlahan, menimbulkan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri. Bisa juga terjadi splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati.
·         Pemeriksaan Lab: Coomb’s test direk positif, Hb biasanya
·         Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru, infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.
·         Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari. (2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3) imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150 mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg dl="" span="">
B. Tipe Dingin
·         terjadi pada suhu tubuh dibawah normal. Antibodi yang memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi ini akan langsung berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu fagositosis.
·         Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan (biasanya Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan splenomegali.
·         pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes coomb positif, spesifisitas tinggi untuk antigen tertentu seperti anti-I, anti-Pr, anti-M dan anti-P.
·         Prognosis:baik, cukup stabil
·         terapi: hindari udara dingin, terapi prednison, klorambusil 2-4 mg/hari, dan plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM.

Selasa, 11 Juni 2013

GANGGUAN KOAGULASI (HEMOPHILIA)


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Sistem Hematologi
Darah membentuk sekitar 8 % dari berat tubuh total dan memiliki volume rata-rata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria (Sherwood, 2011).
Menurut Corwin (2009), darah terdiri dari sekitar 45 % komponen sel dan 55 % plasma. Komponen sel tersebut adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan trombosit (platelet). Sel darah merah berjumlah 99 % dari total komponen sel; sisanya 1 % sel darah putih dan platelet. Plasma terdiri dari air 90 % dan 10 % sisanya dari protein plasma, elektrolit, gas terlarut, berbagai produk sisa metabolisme, nutrien, vitamin dan kolesterol. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak membantu mempertahankan tekanan osmotik plasma dan volume darah. Globulin mengikat hormon yang tidak larut dan sisa plasma lainnya agar larut. Proses ini memungkinkan zat-zat penting terangkut di dalam darah dari tempat asalnya dibuat ke tempat zat-zat tersebut bekerja. Sebagai contoh, zat-zat yang dibawa berikatan dengan protein plasma termasuk hormon tiroid, besi, fosfolipid, bilirubin, hormon steroid dan kolesterol. Protein globulin lainnya yaitu imunoglobulin adalah antibodi yang  ada di dalam darah untuk melawan infeksi. Fibrinogen merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah.
Tabel 1. Konstituen Darah dan Fungsinya
Konstituen
Fungsi
1.       Plasma
a.                   Air
b.                   Elektrolit

c.                   Nutrien, zat sisa, gas, hormon

d.                   Protein Plasma



1)       Albumin

2)       Globulin
·         Alfa dan beta

·         Gama
3)       Fibrinogen

Medium transpor; membawa panas.
Eksitabilitas membran; distribusi osmotik cairan antara CES dan CIS; menyangga perubahan pH.
Diangkut dalam darah; gas O2 darah berperan dalam keseimbangan asam-basa.
Secara umum, menghasilkan efek osmotik yang penting dalam distribusi CES antara komprtemen vaskuler dan interstisium; menyangga perubahan pH.
Mengangkut banyak bahan; berperan paling besar dalam menentukan tekanan osmotik plasma.

Mengangkut banyak bahan tak larut air, faktor pembekuan; molekul precursor inaktif.
Antibodi.
Prekursor inaktif untuk jalinan fibrin pada pembekuan darah.
2.       Elemen Seluler
a.       Eritrosit
b.       Leukosit
1)       Neutrofil
2)       Eosinofil

3)       Basofil


4)       Monosit
5)       Limfosit
·         Limfosit B
·         Limfosit T
c.        Trombosit

Mengangkut O2 dan CO2

Fagosit yang menelan bakteri dan debris.
Menyerang cacing parasitik; penting dalam reaksi alergi.
Mengeluarkan histamin, yang penting dalam reaksi alergik dan heparin yang membantu membersihkan lemak dari darah.
Dalam transit menjadi makrofag jaringan.

Menghasilkan antibody.
Respon imun seluler.
Hemostasis.
2.2  Hemostasis
Hemostasis adalah penghentian perdarahan melalui mekanisme vasokontriksi dan koagulasi fisiologis atau melalui cara-cara bedah (Dorland, 2011). Menurut Sherwood (2011), hemostasis adalah penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak.
Perdarahan terjadi ketika pembuluh darah mengalami kerusakan dan tekanan di bagian dalam pembuluh darah lebih besar daripada tekanan di luarnya sehingga memaksa darah keluar dari defek tersebut (Sherwood, 2011).
Menurut Sherewood (2011), hemostasis melibatkan tiga langkah utama, yaitu spasme vaskuler (vasokontriksi), pembentukan sumbat koagulasi (platelet plug) dan koagulasi darah (pembentukan bekuan darah).

2.2.1        Spasme Vaskuler (Vasokontriksi)
Pembuluh darah yang terpotong atau robek akan segera berkontriksi. Mekanisme yang mendasari hal ini belum jelas tetapi diperkirakan merupakan suatu respon intrinsik yang dipicu oleh suatu zat parakrin yang dilepaskan secara lokal dari lapisan dalam (endotel) pembuluh darah yang cedera. Kontriksi atau spasme vaskuler ini memperlambat darah mengalir melalui defek dan memperkecil kehilangan darah. Permukaan-permukaan endotel yang saling berhadapan juga saling menekan oleh spasme vaskuler awal ini sehingga permukaan tersebut menjadi lekat satu sama lain dan semakin menambal pembuluh yang rusak. Tindakan-tindakan fisik ini tidak cukup untuk mencegah secara sempurna pengeluaran darah lebih lanjut tetapi dapat memininalkan aliran darah melalui pembuluh yang rusak sampai tindakan hemostasis lain dapat benar-benar menyumbat kebocoran tersebut (Sherwood, 2011).

2.2.2        Pembentukan sumbat koagulasi (Platelet Plug)
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat ke permukaan endotel pembuluh darah yang licin, tetapi jika permukaan ini rusak akibat cedera pembuluh makan trombosit menjadi aktif oleh kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa di jaringan ikat di bawah endotel. Setelah teraktifkan, trombosit cepat melekat ke kolagen dan membentuk sumbat trombosit hemostasis di tempat cedera. Ketika muli menggumpal, trombosit-trombosit tersebut mengeluarkan beberapa bahan kimia penting dari granula simpanannya. Di antara zat-zat kimia tersebut terdapat adenosin difosfat (ADP), yang menyebabkan permukaan trombosit darah yang terdapat di sekitar menjadi lekat sehingga trombosit tersebut melekat ke lapis pertama gumpalan trombosit. Trombosit-trombosit yang baru melekat ini melepaskan lebih banyak ADP, yang menyebabkan semakin banyak trombosit menumpuk di tempat defek; karena itu, di tempat defek cepat terbentuk sumbat trombosit melalui mekanisme umpan balik positif (Sherwood, 2011).
Sumbat trombosit tidak terus terbentuk dan meluas ke permukaan dalam pembuluh darah normal di sekitarnya, hal ini disebabkan oleh ADP dan bahan kimia lain yang dikeluarkan trombosit aktif merangsang pelepasan prostasikllin dan nitrat oksida dari endotel normal sekitar, kedua bahan kimia ini menghambat agregasi trombosit, sehingga sumbat trombosit bersifat terbatas di defek dan tidak menyebar ke jaringan vaskuler sekitar yang tidak rusak (Sherwood, 2011).
Sumbat trombosit saja secara fisik menambal kerusakan pembuluh tetapi juga memungkinkan dilakukannya tiga fungsi penting, yaitu: (1) kompleks aktin-miosin di dalam trombosit yang membentuk sumbat tersebut berkontraksi untuk memadatkan dan memperkuat sumbat yang mula-mula longgar, (2) bahan-bahan kimia yang dikeluarkan oleh sumbat trombosit mencakup beberapa vasokonstriktor kuat (serotonin, epinefrin dan tromboksan A2), yang memicu konstriksi kuat pembuluh yang bersangkutan untuk memperkuat vasospasme awal, (3) sumbat trombosit membebaskan bahan-bahan kimia lain yang meningkatkan koagulasi darah. Meskipun mekanisme pembentukan sumbat trombosit saja sering sudah cukup untuk menambal robekan-robekan kecil di kapiler dan pembuluh halus lain yang terjadi berkali-kali dalam sehari, lubang yang lebih besar di pembuluh darah memerlukan pembentukan bekuan darah agar perdarahan dapat dihentikan seluruhnya (Sherwood, 2011).

2.2.3        Koagulasi darah (Pembentukan Bekuan Darah)
Koagulasi darah atau pembekuan darah adalah transformasi darah dari cairan menjadi gel padat. Pembentukan bekuan di atas sumbat trombosit memperkuat dan menopang sumbat, meningkatkan tambalan yang menutupi kerusakan pembuluh. Selain itu, sewaktu darah di sekitar defek pembuluh memadat, darah tidak lagi dapat mengalir. Pembekuan darah adalah mekanisme hemostasis tubuh yang paling kuat. Mekanisme ini diperlukan untuk menghentikan perdarahan dari semua defek, kecuali defek-defek yang paling kecil (Sherwood, 2011).
Langkah terakhir dalam pembentukan bekuan adalah pengubahan fibrinogen, suatu protein plasma yang dapat larut dan berukuan besar yang dihasilkan oleh hati dan secara normal selalu ada di dalam plasma, menjadi fibrin yaitu suatu molekul tak larut berbentuk benang. Perubahan menjadi fibrin ini dikatalis oleh enzim trombin di tempat cedera. Molekul-molekul fibrin melekat ke permukaan pembuluh yang rusak, membentuk jala longgar yang menjerat sel-sel darah, termasuk agregat trombosit. Massa yang terbentuk, atau bekuan, biasanya tampak merah karena banyaknya sel darah merah yang terperangkap, tetapi bahan dasar bekuaan adalah fibrin yang berasal dari plasma, kecuali trombosit yang berperan penting dalam menyebabkan perubahan fibrinogen menjadi fibrin, pembekuan dapat berlangsung tanpa adanya sel-sel darah lain (Sherwood, 2011).
Jala fibrin awal ini relatif lemah, karena untai-untai fibrin saling menjalin secara longgar. Namun, dengan cepat terbentuk ikatan kimia antara untai-untai fibrin yang berdekatan untuk memperkuat dan menstabilkan jala bekuan ini. Proses pembentukan ikatan silang ini dikatalis oleh suatu faktor pembekuan yang dikenal sebagai faktor XIII (fibrin-stabilizing factor), yang secara normal terdapat pada plasma dalam bentuk inaktif (Sherwood, 2011)

Menurut Price dan Wilson (2005), faktor-faktor pembekuan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Faktor-faktor Pembekuan
Faktor-faktor Pembekuan
I
Fibrinogen: prekursor fibrin (protein terpolimerisasi).
II
Protrombin: prekursor enzim proteolitik trombin dan mungkin akselerator lain pada konversi protrombin.
III
Tromboplastin: aktivator lipoprotein jaringan pada protrombin.
IV
Kalsium: diperlukan untuk aktivasi protrombin dan pembentukan fibrin.
V
Akselerator plasma globulin: suatu faktor plasma yang mempercepat konversi protrombin menjadi trombin.
VI
Istilah ini tidak dipakai
VII
Akselerator konversi protrombin serunm: suatu faktor serum yang mempercepat konversi protrombin.
VIII
Globulin antihemofilik (AHG): suatu faktor plasma yang berkaitan dengan faktor III trombosit dan faktor Christmas (IX); mengaktivasi protrombin.
IX
Faktor Christmas: faktor serum yang berkaitan dengan faktor-faktor trombosit III dan VIIIAHG; mengaktivasi protrombin.
X
Faktor Stuart-Prower: suatu faktor plasma dan serum; akselerator konversi protrombin.
XI
Pendahulu tromboplastin plasma (PTA): suatu faktor plasma yang diaktivasi oleh faktor Hagemen (XII); akselerator pembentukan trombin.
XII
Faktor Hageman: suatu faktor plasma; mengaktivasi PTA (XI).
XIII
Faktor penstabil fibrin: faktor plasma: menghasilkan bekuan fibrin yang lebih kuat tidak larut di dalam urea.
Faktor Fletcher (prakalikrein): faktor pengaktivasi-kontak
Faktor Fitzgerald / HMWK (kilinogen berat molekul tinggi): faktor pengaktivasi kontak.
2.3  Gangguan Hemostasis
Menurut Hoffbrand (2005), perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh kelainan vaskuler, trombositopenia, gangguan fungsi trombosit atau gangguan koagulasi.
Pola perdarahan yang terjadi relatif dapat diduga tergantung pada etiologinya. Kelainan vaskuler dan trombosit cenderung disertai perdarahan dari selaput lendir pada kulit, sedangkan pada kelainan koagulasi darah sering terjadi pada sendi atau jaringan lunak (Hoffbrand, 2005).
Kelainan vaskuler adalah sekelompok keadaan heterogen, yang ditandai oleh mudah memar dan perdarahan spontan dari pembuluh darah kecil. Kelainan yang mendasari terletak dalam pembuluh darah itu sendiri atau dalam jaringan ikat perivaskuler. Sebagian besar kasus perdarahan akibat defek vaskuler saja tidak bersifat parah. Perdarahan yang seringkali terjadi terutama pada kulit menimbulkan petekie, ekimosis atau keduanya. Pada beberpa kelainan, terdapat juga perdarahan dari selaput lendir (Hoffbrand, 2005).
Perdarahan abnormal yang berkaitan dengan trombositopenia atau fungsi trombosit yang abnormal yang ditandai oleh purpura kulit spontan, perdarahan mukosa dan perdarahan berkepanjangan setelah trauma (Hoffbrand, 2005).
Gangguan pembekuan yang didapat biasanya berkaitan dengan defisiensi berbagai faktor pembekuan, misalnya defisiensi vitamin K dapat menyebabkan gangguan pembekuan yang parah, karena zat gizi tersebut esensial untuk sintesis protrombin dan faktor pembekuan VII, IX dan X. Hati merupakan tempat pembentukan beberapa faktor pembekuan; oleh karena itu, penyakit parenkim hati sering merupakan penyebab diatesis perdarahan (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007).
Selain itu dapat terjadi defisiensi herediter dari setiap faktor pembekuan. Defisiensi ini biasanya terjadi secara tunggal (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007). Menurut Hoffbrand (2005), penyakit yang sering dijumpai pada kelainan pembekuan darah herediter adalah hemofilia A, hemofilia B dan penyakit von Willebrand.

2.4  Hemofilia
2.4.1        Definisi Hemofilia
Menurut Price dan Wilson (2005), hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling sering dijumpai, bermanifestsi sebagai episode perdarahan intermiten.
Hemofilia adalah diatesis hemoragik herediter akibat defisiensi faktor koagulasi darah (Dorland, 2011).
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30 % pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen (Sudoyo dkk, 2009).

2.4.2        Epidemiologi Hemofilia
Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1:25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga (Sudoyo dkk, 2009).

2.4.3        Jenis dan Etiologi Hemofilia
Saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked recessive, yaitu hemofilia A (hemofilia klasik) akibat defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII (FVIIIc) dan hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan IX (faktor Christmas). Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor XI yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35 (Sudoyo dkk, 2009).
Menurut Sudoyo dkk (2009), gen faktor VIII dan IX terletak pada kromosom X serta bersifat resesif, maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki (pasien, XhY); dapat bermanifestasi klinis pada perempuan bila kedua kromosom X pada perempuan terdapat kelainan (XhXh).

2.4.4        Klasifikasi Hemofilia
Menurut Sudoyo dkk (2009), Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan normal sekitar 0,5-1,5 U/dl (50-150%); sedangkan pada hemofilia berat bila kadar faktor pembekuan <1 1-5="" 5-30="" akibat="" atau="" berarti="" berat="" cukup="" dan="" dapat="" ekstraksi="" gigi="" hemofilia="" iris="" jarang="" jatuh="" kecuali="" kuat="" lain-lain="" luka="" lutut="" mengalami="" pada="" pasien="" perdarahan="" ringan="" sedang="" sedangkan="" sekali="" sendi="" seperti="" serta="" siku="" sirkumsisi="" span="" spontan="" terbentur="" terdeteksi="" terjadi="" tidak="" trauma="" yang="">

Tabel 3. Hubungan Aktivitas Faktor Pembekuan dengan Manifestasi Klinis Perdarahan
Hubungan aktivitas F VIII dan F XI dengan Manisfestasi Klinis Perdarahan

Berat
Sedang
Ringan
Aktivitas F VIII atau F IX-U/ml (%)
<0 span="">
0,01-0,05 (1-5)
> 0,05 (>5)
Frekuensi Hemofilia A (%)
70
15
15
Frekuensi Hemofilia B (%)
50
30
20
Usia awitan
≤ 1 tahun
1-2 tahun
>2 tahun
Gejala neonatus
sering PCB kejadian ICH
sering PCB jarang ICB
tidak pernah PCB jarang sekali ICB
Perdarahan otot atau sendi
tanpa trauma
trauma ringan
trauma cukup kuat
Perdarahan SSP
risiko tinggi
risiko sedang
jarang
Perdarahan post operasi
sering dan fatal
butuh bebat
pada operasi besar

Perdarahan oral (trauma, cabut gigi)
sering terjadi
dapat terjadi
kadang terjadi
Keterangan:
PCB    : Post Circumcisional Bleeding
ICH     : Intracranial Hemorrhage

2.4.5        Manifestasi Klinis Hemofilia
Menurut Sudoyo dkk (2009), perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktifitas faktor pembekuan). Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan/intramuskuler, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis, dan hematuria. Sering pula
dijumpai perdarahan yang berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi).
Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibanding sendi peluru, karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban tersebut karena fungsinya (Sudoyo dkk, 2009).
Menurut Behrman, Kliegman dan Arvin (1999), ciri khas hemofilia adalah hemartrosis. Perdarahan ke dalam sendi siku, lutut dan pergelangan kaki menyebabkan rasa nyeri dan pembengkakan serta pembatasan gerakan sendi.
Hematoma intramuskuler terjadi pada otot-otot fleksor besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan kontur otot (Sudoyo dkk, 2009).

2.4.6        Diagnosis Hemofilia
Menurut Sudoyo dkk (2009), sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyadi F VIII atau F IX. Seseorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan penunjang lainnya.
Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostatis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT) dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT), abnormalitas uji thromboplastin generation, dengan masa perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normal (Sudoyo dkk, 2009).
Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya aktivitas F VIII atau F IX dan jika sarana pemeriksaan sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen F VIII atau F IX. Aktivitas F VIII atau F IX dinyatakan dalam U/ml dengan arti aktivitas faktor pembekuan dalam 1 ml plasma normal adalah 100%. Nilai normal aktivitas F VIII atau F IX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150%. Harus diingat adalah membedakan hemofilia A dengan penyakit von Willebrand, dengan melihat rasio F VIIIc : F VIIIag dan aktivitas FvW (uji ristosetin) rendah (Sudoyo dkk, 2009).
Tabel 4. Gambaran Klinis dan Laboratorium

Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko. Pemeriksaan aktivitas F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester kedua dapat membantu menentukan status janin terhadap kerentanan hemofilia A. Identifikasi gen F VIII dan petanda gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan (Sudoyo dkk, 2009).
Menurut Sudoyo dkk (2009), seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat hemofilia (karier) jika dia memiliki lebih dari satu saudara laki-laki dan seorang anak laki-laki pasien hemofilia atau ayahnya pasien hemofilia.
Deteksi pada hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung rasio aktivitas F VIIIc dengan antigen F VIIIvW. Jika nilai kurang dari 1 memiliki ketepatan dalam menentukan hemofilia karier sekitar 90%; namun hati-hati pada keadaan hamil, memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya penyakit hati karena dapat meningkatkan aktivitas F VIIIc. Aktivitas F VIII rata-rata pada karier 50% tetapi kadang-kadang < 30% dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma atau pembedahan. Analisis genetika dengan menggunakan DNA probe, yaitu dengan cara mencari lokus polimorfik pada kromosom X akan memberikan informasi yang lebih tepat (Sudoyo dkk, 2009).

2.4.7        Patogenesis Hemofilia
Faktor VIII dan faktor IX diperlukan dalam pembentukan tenase complex yang akan mengaktifkan faktor X. Defisiensi faktor VIII atau faktor IX mengganggu jalur intrinsik sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan fibrin. Akibatnya terjadilah gangguan koagulasi (Bakta, 2006).

2.4.8        Tatalaksana Hemofilia
A.    Terapi Suportif
Menurut Sudoyo dkk (2009), pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan kadar faktor anti hemofilia yang berkurang. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1)      Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan.
2)      Merencanakan suatu tidakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%.
3)      Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka dilakukan tindakan pertama seperti rest, ice, compressio, elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.
4)      Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat membantu untuk menghilang proses inflamasi pada sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis. Pemberian prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (artrosis) yang mengganggu aktivitas harian serta menurunkan kualitas hidup pasien hemofilia.
5)      Analgetika. Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat dan sebaiknya dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi trombosit (harus dihindari pemakaian aspirin dan antikoagulan).
6)      Rehabilitasi medik. Sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif dan holistik dalam sebuah tim, karena keterlambatan pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medik artritis hemofilia meliputi latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas (hati-hati), penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi.

B.     Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan fisik (trauma sendi) sehingga pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti hemofilia (AHF) yang cukup banyak dengan biaya yang tinggi (Sudoyo dkk, 2009).
Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus hemofilia dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX, baik rekombinan, konsentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak faktor-faktor pembekuan tersebut. Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai luka atau pembengkakan membaik; serta khususnya selama fisioterapi (Sudoyo dkk, 2009).

C.    Konsentrat F VIII atau F IX
Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang dengan episode perdarahan serius membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan kadar tinggi yang harus diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah dilemahkan virusnya (Sudoyo dkk, 2009).
Faktor IX tersedia dalam 2 bentuk yaitu prothrombin complex consentrates (PCC) yang berisi F II, VII, IX, X dan purified F IX consentrates yang berisi sejumlah F IX tanpa faktor yang lain. PCC dapat menyebabkan trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena tersebar yang disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor pembekuan lain. Resiko ini dapat meningkat pada pemberian F IX berulang, sehingga purified konsentrat F IX lebih diinginkan Waktu paruh F VIII adalah 8-12 jam sedangkan F IX 24 jam dan volume distribusi dari F IX kira-kira 2 kali dari F VIII (Sudoyo dkk, 2009).
Metode perhitungan alternatif adalah satu unit F VIII mampu meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma 0,02 U/ml (2%) selama 12 jam; sedangkan satu unit F IX dapat meningkatkan aktivitasnya didalam plasma sampai 0,01 U/ml (1%) selama 24 jam (Sudoyo dkk, 2009).
Menurut Sudoyo dkk (2009), penuntun penggunaan pengganti faktor pembekuan pada perdarahan hemofilia tergantung kasus per kasus, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Pemberian Faktor Pembekuan pada Perdarahan Pasien Hemofilia

D.    Kriopresipitat AHF
Kriopresipitat AHF adalah salah satu komponen darah non seluler yang merupakan konsentrat plasma tertentu yang mengandung F VIII, fibrinogen dan faktor von Willebrand. Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan. Satu kantong kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu kantong kriopresipitat yang mengandung 100 U F VIII dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek samping dapat terjadi reaksi alergi dan demam (Sudoyo dkk, 2009).

E.     1-deamino 8-D Arginin Vasopresin (DDAVP) atau Desmopresin
Hormon sintetik anti deuretik (DDAVP) merangsang peningkatan kadar aktivitas F VIII di dalam plasma sampai 4 kali, namun bersifat sementara. Sampai saat ini mekanisme kerja DDAVP belum diketahui seluruhnya, tetapi dianjurkan untuk diberikan pada hemofilia A ringan dan sedang serta juga pada karier perempuan yang simptomatik. Pemberian dapat secara intravena dengan dosis 0,3 mg/kgBB dalam 30-50 NaCl 0,9% selama 15-20 menit dengan lama kerja 8 jam. Efek puncak pada pemberian ini dicapai dalam waktu 30-60. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan konsentrat DDAVP dalam bentuk semprot intranasal. Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan BB < 50 kg adalah 150 mg (sekali semprot), dan 300 mg untuk pasien dengan BB > 50 kg (dua kali semprot), dengan efek puncak terjadi setelah 60-90 menit (Sudoyo dkk, 2009).
Pemberian DDAVP untuk pencegahan terhadap kejadian perdarahan sebaiknya dilakukan setiap 12-24 jam. Efek samping yang dapat terjadi berupa takikardi, flushing, thrombosis (sangat jarang) dan hiponatremia. Juga dapat timbul angina pada pasien dengan PJK (Sudoyo dkk, 2009).

F.     Antifibrinolitik
Preparat antifibrinolitik digunakan pasien hemofilia B utnuk menstabilisasikan bekuan atau fibrin dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan perdarahan; terutama pada kasus perdarahan mukosa mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak mengandung enzim fibrinolitik. Epsilon aminocaproic acid (EACA) dapat diberikan secara oral maupun intravena dengan dosis awal 200 mg/kgBB, diikuti 100 mg/kgBB setiap 6 jam (maksimum 5g setiap pemberian). Asam traneksamat diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB (maksimum 1,5g) secara oral, atau 10 mg/kgBB (maksimum 1g) secara intravena setiap 8 jam. Asam traneksamat juga dapat dilarutkan 10% bagian dengan cairan parenteral, terutama salin normal (Sudoyo dkk, 2009).

G.    Terapi Gen
Penelitian terapi gen dengan mengunakan vektor retrovirus, adenovirus dan adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini sedang intensif dilakukan penelitian invivo dengan memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen antihemofilia ke dalam sel hati. Gen F VIII relatif lebih sulit dibandingkan gen F IX, karena ukurannya (9 kb) lebih besar; namun akhir tahun 1998 para ahli berhasil melakukan pemindahan plamid-based factor VIII secara ex vivo ke fibroblas (Sudoyo dkk, 2009).

2.4.9        Komplikasi Hemofilia
Perdarahan berulang pada hemofilia dapat menyebabkan perubahan degeneratif, osteoporosis, atrofi otot dan akhirnya sendi yang tidak dapat digunakan atau tidak dapat digerakkan. Perdarahan intrakranial dan perdarahan ke dalam leher merupakan gawat darurat yang mengancam nyawa (Behrman, Kliegman dan Alvin, 1999).
Menurut Sudoyo dkk (2009), komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati hemofilia yaitu penimbunan darah intra artikuler yang menetap dengan akibat degenerasi kartilago dan tulang sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan sampai rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan sinovitis kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang tidak kunjung henti. Sendi yang sering mengalami komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan siku. Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis sering ditemukan jika tidak dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi hemofilia sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi intra abdomen atau intra torakal), sedangkan perdarahan akibat trauma sehari-hari yang tersering berupa hemartrosis, perdarahan intramuskuler dan hematom. Perdarahan intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi berakibat fatal.
Perdarahan berulang ke dalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago artikularis disertai gejala-gejala artritis (Price dan Wilson, 2005).
Perdarahan jaringan lunak, terutama perdarahan subkutis dan intramuskulus dapat menyebabkan kerusakan pada otot dan saraf akibat tekanan. Hematoma ke dalam jaringan lunak kepala dan leher dapat menekan jalan napas dan menyebabkan kematian melalui asfiksia. Perdarahan ke dalam saluran kemih dan pencernaan sering terjadi, tetapi biasanya tidak menyebabkan penyulit jangka-panjang. Perdarahan intrakranium, di pihak lain, kadang-kadang terjadi tanpa predisposisi trauma yang nyata dan dapat sangat membahayakan (Sacher dan Richard, 2004).

DAFTAR PUSTAKA
                                                                                              
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.

Behrman, Kliegman dan Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Dorland, W.A. Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

Hoffbrand, A.V., dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.

Kumar, Cotran dan Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC.

Price dan Wilson. 2005.  Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Sacher dan Richard. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC.

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.