slamat datang

Pikiran ada tempatnya sendiri
dari pikiran itu bisa mengubah surga menjadi neraka atau neraka menjadi surga.

Minggu, 18 Desember 2011

Kultur Sel Sebagai Teknik Pengobatan di Masa Depan


Kata-kata bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya yang selalu terngiang-ngiang di kepala para peneliti di dunia kedokteran membuat mereka tidak pernah berputus asa mencari obat untuk segala macam penyakit. Salah satu teknologi kedokteran yang saat ini sedang dikembangkan yaitu stem sel. Pengembangan stem sel memberi harapan bagi penyembuhan berbagai penyakit yang belum ada obatnya sampai saat ini. Walaupun masih kontroversial karena berbenturan dengan permasalahan etika.
Apa itu Stem Sel?
Kultur sel atau yang biasa disebut sebagai Stem sel atau sel induk adalah sel yang dalam perkembangan embrio manusia menjadi sel awal yang tumbuh menjadi berbagai organ manusia. Sel ini belum terspesialisasi dan mampu berdeferensiasi menjadi berbagai sel matang dan mampu meregenerasi diri sendiri.
Sel induk dibagi menjadi sel stem embrionik dan sel stem dewasa. Sel stem embrionik adalah sel yang diambil dari inner cell mass, suatu kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastocyst yang berusia lima hari dan terdiri atas seratus sel. Sel ini dapat berkembang biak dalam media kultur optimal menjadi berbagai sel, seperti sel jantung, sel kulit, dan saraf.
Sumber lain adalah sel stem dewasa, yakni sel induk yang terdapat di semua organ tubuh, terutama di dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang mengalami kerusakan. Tubuh kita mengalami perusakan oleh berbagai faktor dan semua kerusakan yang mengakibatkan kematian jaringan dan sel akan dibersihkan. Sel stem dewasa dapat diambil dari fetus, sumsum tulang, dan darah tali pusat.
Sel induk embrionik maupun sel induk dewasa sangat besar potensinya untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif, seperti infark jantung, stroke, parkinson, diabetes, berbagai macam kanker; terutama kanker darah dan osteoarthritis. Sel stem embrionik sangat plastis dan mudah dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel sehingga dapat dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak.
Keuntungan sel induk dari embrio di antaranya ia mudah didapat dari klinik fertilitas dan bersifat pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi segala jenis sel dalam tubuh. Pada kultur sel ini dapat berpoliferasi beratus kali lipat sehingga berumur panjang, Namun, sel induk ini berisiko menimbulkan kanker jika terkontaminasi, berpotensi menimbulkan penolakan, dan secara etika sangat kontroversial.
Sementara sel induk dewasa dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari penolakan imun, sudah terspesialisasi sehingga induksi jadi lebih sederhana dan secara etika tidak ada masalah. Kerugiannya, sel induk dewasa ini jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada jaringan matur, masa hidupnya tidak selama sel induk dari embrio, dan bersifat multipoten sehingga diferensiasinya tidak seluas sel induk dari embrio.
Sejarah Pemanfaatan Stem Sel
Terapi pengobatan yang menggunakan stem sel mulai digunakan sejak keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk yang pertama kalinya pada tahun 1968.1 Kemudian, stem sel embrionik pluripotent dan stem sel multipotent dewasa digunakan untuk membuat jaringan manusia yang akan ditransplantasi ke pasien dengan indikasi kelainan yang disebabkan oleh degenerasi atau perlukaan sel, jaringan, dan organ. Perkembangan terbaru teknik penumbuhan stem sel embrionik manusia pada kultur dan peningkatan pengetahuan para peneliti mengenai jalur diferensiasi sel telah memperluas penggunaan terapi ini.
Pada tahun 1963, peneliti di dunia kedokteran menemukan bahwa sel induk dari tali pusat dapat dipakai si bayi dan keluarganya untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Darah di dalam ari-ari dan tali pusat mengandung berjuta-juta sel induk pembentuk darah yang sejenis dengan sel induk yang ditemukan di dalam sumsum tulang.
Pencangkokan darah tali pusat (umbilical cord blood) pertama kali dilakukan pada seorang anak penderita anemia fanconi di Paris pada tahun 1988. Keberhasilan pencangkokan itu membuka pandangan baru dalam pemanfaatan darah tali pusat yang sebelumnya tidak berguna. Setelah diteliti lebih lanjut, banyak keuntungan yang ditawarkan dibandingkan dengan transplantasi sumsum tulang yang semula jadi primadona. Stem sel dewasa dari darah tali pusat memiliki kemampuan proliferasi yang lebih tinggi daripada dari sumsum tulang. Selain itu, pencangkokan dengan menggunakan sel induk dewasa dari darah tali pusat ini memiliki tingkat kecocokan lebih tinggi dibandingkan sumsum tulang.
Sel induk sumsum tulang dan darah tali pusat sejauh ini telah berhasil digunakan untuk mengobati berbagai penyakit kelainan darah. Hingga kini sedikitnya 3.000 pencangkokan darah tali pusat telah dilakukan. Lebih dari 72 penyakit yang terbukti dapat diobati dengan pencangkokan sel induk ini, di antaranya leukemia, keropos tulang (osteoporosis), dan kanker payudara. Kebanyakan dari penyakit yang disembuhkan adalah penyakit akut, seperti leukemia akut dan kronis, anemia fanconi, anemia aplastic, dan penyakit auto immune. Namun pada kanker payudara, stem sel terbukti tidak menolong.
Pada tahun 1993, di Jerman telah dilakukan sebuah penelitian yang melibatkan 885 pasien berumur kurang dari 56 tahun penderita kanker payudara yang tidak bermetastasis dan telah dioperasi. Pasien yang mendapat perlakuan konvensional diberikan fluorouracil, epirubricin,dan cyclophosphamide setiap tiga minggu, diikuti radioterapi dan perlakuan dengan tamoxifen, untuk empat siklus dari perlakuan. Pasien dari kelompok perlakuan dosis tinggi menerima perlakuan cara yang sama untuk 4 siklus pertama, tetapi perlakuan kelima terdiri dari dosis tinggi cyclophosphamide, thiotepa, dan carboplatin diikuti transplantasi stem sel hematopoietik darah tepi pasien sendiri. Hasilnya, 5 wanita meninggal pada kelompok dengan perlakuan dosis tinggi yaitu 1 selama perlakuan, dan 4 pada 100 hari setelah transplantasi stem sel.
Sebuah penelitian lain dilakukan pada tahun 1191 melibatkan 540 wanita yang menderita kanker payudara dan paling sedikit 10 diantaranya positif memiliki axillary nodes. Mereka diperlakukan baik dengan 6 siklus dari kemoterapi dengan cyclophosphamide, doxorubicin, dan fluorouracil maupun dengan kemoterapi diikuti 1 siklus kemoterapi dosis tinggi dengan cyclophosphamide dan thiotepa dan transplantasi hematopoietik stem sel autolog.
Hasilnya, 9 wanita meninggal pada kelompok yang mendapat perlakuan dosis tinggi. Peneliti menemukan bahwa penambahan transplantasi stem sel pada kemoterapi konvensional tidak memperbaiki penyakit, tetapi waktu untuk kambuhnya lebih panjang pada wanita yang menjalani transplantasi stem sel.
Masih Menjadi Kontroversi
Sejauh ini, penggunaan sel stem embrionik masih dibayangi masalah etika dan dilarang di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat dan Perancis. Pemerintah Federal Amerika Serikat melarang pendanaan penelitian yang menggunakan sel induk berasal dari embrio, tetapi tidak melarang penelitian itu sendiri. Hal ini menyebabkan penelitian dilakukan pihak swasta tanpa pengawasan yang baik.
Namun, di beberapa negara, seperti Singapura, Korea, dan India, penggunaan sel stem embrionik manusia untuk kedokteran regeneratif diperbolehkan. Kanada membolehkan penggunaan embrio sisa bayi tabung untuk penelitian sel induk. Swedia mendukung kegiatan pengklonan embrio untuk tujuan pengobatan. Di Inggris, pihak swasta diperbolehkan membuat sel induk dari embrio.
Bahkan, Singapura menanamkan modal dalam upaya penelitian sel induk yang berasal dari embrio sebesar 300 juta dollar AS dengan mengembangkan Biopolis, suatu taman ilmu yang modern dengan tujuan khusus penelitian sel induk. Di Singapura juga telah didirikan suatu bank penyimpanan darah tali pusat.
Permasalahan etika itu dengan pesat muncul ke permukaan karena sumber sel induk adalah berupa embrio dari hasil abortus, zigot sisa dan hasil pengklonan. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti apakah penelitian embrio manusia secara moral dapat dipertanggungjawabkan? Apakah penelitian yang menyebabkan kematian embrio itu melanggar hak asasi manusia dan berkurangnya penghormatan pada makhluk hidup? Dibalik itu semua, banyak harapan yang timbul dari penelitian sel induk dari embrio ini. Sel ini berpotensi berkembang jadi berbagai jenis sel yang menyusun aneka jenis organ tubuh. Sungguh luar biasa bukan?
Tak Kunjung Selesai
Dewasa ini sudah ada sejumlah peneliti melaporkan suatu cara memperoleh embrio yang etis, antara lain dengan cara membuat embrio partenogenetik dan melalui transfer inti yang diubah. Ini disebut pembuatan embrio yang etis. Pembentukannya dilakukan dengan penyuntikan suatu protein sperma pada sel telur yang memicu proses fertilisasi dan sel telur mulai membelah.
Pembelahan sel telur ini hanya dapat berkembang sampai stadium blastosis dan sel induk embrio kemudian dapat dipanen. Pada transfer inti yang diubah dilakukan transfer inti dengan DNA yang sudah diubah sehingga hasil fertilisasi tidak dapat berkembang jadi embrio atau fetus. Ia berhenti pada stadium blastosis. Menurut pendukung gagasan ini, gumpalan sel yang terbentuk tidak dapat disebut embrio karena tidak sempurna.
Pengklonan embrio manusia untuk memperoleh sel induk menimbulkan kontroversi lantaran berhubungan dengan pengklonan manusia atau pengklonan reproduksi yang ditentang semua agama. Dalam proses pemanenan sel induk dari embrio terjadi kerusakan pada embrio yang menyebabkannya mati. Pandangan bahwa embrio mempunyai status moral sama dengan manusia menyebabkan hal ini sulit diterima. Karena itu, pembuatan embrio untuk tujuan penelitian merupakan hal yang tidak dapat diterima banyak pihak.
Perdebatan tentang status moral embrio berkisar tentang apakah embrio harus diperlakukan sebagai manusia atau sesuatu yang berpotensi sebagai manusia, atau sebagai jaringan hidup. Pandangan yang moderat menganggap suatu embrio berhak mendapat penghormatan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin tua usia embrio, kian tinggi tingkat penghormatan yang diberikan. Pandangan liberal menganggap embrio pada stadium blastosis hanya sebagai gumpalan sel dan belum merupakan manusia sehingga dapat dipakai untuk penelitian. Namun, pandangan konservatif menganggap blastosis sebagai makhluk hidup. Salah satu cara untuk menghindari masalah etika penggunaan embrio manusia adalah dengan eksperimen pengklonan lintas spesies. Teknologi ini masih dikembangkan dan belum banyak dikaji dari segi ilmiah dan etika.
Sumber: gugling.com

Rabu, 07 Desember 2011

prinsip metodologi penelitian kesehatan

Prinsip Metodologi

Metodologi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri Ilmiah. Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat. Jika kita membicarakan metodologi maka hal yang tak kalah pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktivitas ilmiah. Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap yang akan dikembangkan para ilmuwan maupun peneliti di dalam kegiatan ilmiah mereka.

Beberapa prinsip metodologi oleh beberapa ahli, diantaranya:

A. Rene Descartes

Dalam karyanya Discourse On Methoda, dikemukakan 6 (enam ) prinsip metodologi yaitu:

  1. Membicarakan masalah ilmu pengetahuan diawali dengan menyebutkan akal sehat (common sense) yang pada umumnya dimiliki oleh semua orang. Akal sehat menurut Descartes ada yang kurang, adapula yang lebih banyak memilikinya, namun yang terpenting adalah penerapannya dalam aktivitas ilmiah.
  2. Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam aktivitas ilmiah maupun penelitian. Descartes mengajukan 4 (empat) langkah atau aturan yang dapat mendukung metode yang dimaksud yaitu: (1) Jangan pernah menerima baik apa saja sebagai yang benar, jika anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya. Artinya, dengan cermat hindari kesimpulan-kesimpulan dan pra konsepsi yang terburu-buru dan jangan memasukkan apapun ke dalam pertimbangan anda lebih dari pada yang terpapar dengan begitu jelas sehingga tidak perlu diragukan lagi, (2) Pecahkanlah setiap kesulitan anda menjadi sebanyak mungkin bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.(3) Arahkan pemikiran anda secara jernih dan tertib, mulai dari objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit, setahap demi setahap ke pengetahuan yang paling kompleks, dan dengan mengandaikan sesuatu urutan bahkan diantara objek yang sebelum itu tidak mempunyai ketertiban baru. (4) Buatlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin, dan adakan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti tidak suatu pun yang ketinggalan. (5)Langkah yang digambarkan Descartes ini menggambarkan suatu sikap skeptis metodis dalam memperoleh kebenaran yang pasti.
  3. Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan metode sebagai berikut: (1) Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak. (2) Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling meyakinkan maupun yang paling meragukan. (3) Berusaha lebih mengubah diri sendiri dari pada merombak tatanan dunia.
  4. Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acap kali terkecoh oleh indera. Kita memang dapat membayangkan diri kita tidak berubah namun kita tidak dapat membayangkan diri kita tidak bereksistensi, karena terbukti kita dapat menyangsikan kebenaran pendapat lain. Oleh karena itu, kita dapat saja meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin meragukan kita sendiri yang sedang dalam keadaan ragu-ragu.
  5. Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia yang terdiri atas dua substansi yaitu RESCOGITANS (jiwa bernalar) dan RES-EXTENSA (jasmani yang meluas). Tubuh (Res-Extensa) diibaratkan dengan mesin yang tentunya karena ciptaan Tuhan, maka tertata lebih baik. Atas ketergantungan antara dua kodrat ialah jiwa bernalar dan kodrat jasmani. Jiwa secara kodrat tidak mungkin mati bersama dengan tubuh. Jiwa manusia itu abadi.


B. Alfred Julesayer

Dalam karyanya yang berjudul Language, Truth and Logic yang terkait dengan prinsip metodologi adalah prinsip verifikasi. Terdapat dua jenis verifikasi yaitu:

  1. Verifikasi dalam arti yang ketat (strong verifiable) yaitu sejauh mana kebenaran suatu proposisi (duga-dugaan) itu mendukung pengalaman secara meyakinkan.
  2. Verifikasi dalam arti yang lunak, yaitu jika telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan ramalan masa depan sebagai pernyataan yang mengandung makna.
  3. Ayer menampik kekuatiran metafisika dalam dunia ilmiah, karena pernyataan-pernyataan metafisika (termasuk etika theologi) merupakan pernyataan yang MEANING LESS (tidak bermakna) lantaran tidak dapat dilakukan verifikasi apapun

C. Karl Raimund Popper

K.R. Popper seorang filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembenaran (justification) terhadap teori yang telah ada. K.R. Popper mengajukan prinsip verifikasi sebagai berikut:

  1. Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotetis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir.
    Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori lain yang lebih tepat.
  2. Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala (simpton) yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang -ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum.
    K.R. Popper menolak cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti verifikasi pengamatan empiris.
  3. K.R Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip FALSIFA BILITAS, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya bersifat sementara, sejauh belum ada ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Misalnya, jika ada pernyataan bahwa semua angsa berbulu putih melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang bukan berbulu putih (entah hitam, kuning, hijau, dan lain-lain), maka runtuhlah pernyataan tersebut. Namun apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (CORROBORATION).

.

Karakteristik penelitian

1. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pengetahuan yang dapat menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan atau dapat memecahkan suatu permasalahan.

2. Metodologi penelitian adalah pengetahuan yang mengkaji ketentuan mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian.

3. Penelitian dan ilmu merupakan operasionalisasi dari metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.

Proses penelitian

1. Masalah penelitian penelitian mencakup: penemuan masalah dan pemecahan masalah tahap:identifikasi bidang permasalahan, pemilihan atau pemilihan pokok masalah dan perumusan masalah kajian teoritis menyusun kerangka teoritis yang menjadi dasar untuk menjawab masalah atau pertanyaan penelitian.

2. Pengujian fakta (data) mencakup: pemilihan, pengumpulan dan analisis fakta yang terkait dengan masalah yang diteliti data: sekumpulan fakta yang diperoleh melalui pengamatan (0bservasi) atau survei. kesimpulan merupakan hasil penelitian yang memberi feed back pada masalah atau pertanyaan penelitian.

Paradigma penelitian

Paradigma kuantitatif

a. Paradigma tradisional, positivis, eksperimental, empiris.

b. Menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik.

c. Realitas bersifat obyektif dan berdimensi tunggal.

d. Peneliti independen terhadap fakta yang diteliti.

e. Bebas nilai dan tidak bias.

f. Pendekatan deduktif.

g. Pengujian teori dan analisis kuantitatif.

Paradigma kualitatif

a. Pendekatan konstruktifis, naturalistis (interpretatif), atau perspektif postmodern.

b. Menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas.

c. Realitas bersifat subyektif dan berdimensi banyak.

d. Peneliti berinteraksi dengan fakta yang diteliti.

e. Tidak bebas nilai dan bias.

f. Pendekatan induktif.

g. Penyusunan teori dengan analisis kualitatif.

Perbedaan paradigma kuantitatif dengan paradigma kualitatif

Perbedaan antara Paradigma Kuantitatif dengan Paradigma Kualitatif terletak pada asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian. Perbedaan selanjutnya akan memengaruhi strategi dan desain penelitian. Perbedaan asumsi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Hubungan peneliti dengan fakta yang diteliti menurut paradigma kuantitatif diasumsikan bersifat independen sehingga peneliti dapat menguji realitas fakta secara obyektif, terbatas pada dimensi tunggal, bebeas nilai. Sebaliknya menurut asumsi paradigma kualitatif, penelitian berinteraksi dengan fakta yang diteliti sehingga lebih bersifat subyektif, tidak bebeas nilai,

2 Proses penelitian paradigma kuantitatif menggunakan pendekatan deduktif, sedangkan pada penelitian paradigma kualitatif menggunakan pendekatan induktif.

3. Paradigma kuantitatif menekankan pengujian teori dengan analisis kuantitatif dibandingkan pendekatan kualitatif yang memberikan tekanan pada penyusunan teori melalui pengungkapan fakta dengan analisis kualitatif.

Metode ilmiah

Berkas:Adam Smith.jpg

Adam Smith merupakan Bapak Filsafat Pengetahuan

Metode ilmiah adalah prosedur atau cara tertentu yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang disebut ilmu (pengetahuan ilmiah. Tidak semua pengetahuan berupa ilmu, karena ilmu merupakan kriteria tertentu. Cara untuk memperoleh pengetahuan dalam kajian filsafat dikenal dengan istilah epistemologi (filsafat pengetahuan).

Karakteristik ilmu

Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang memberikan penjelasan mengenai fakta atau fenomena alam (fakta yang benar atau umumnya bernilai benar). Pengetahuan yang menjelaskan fenomena alam bermanfaat untuk memprediksi fenomena-fenomena alam. Pengetahuan yang terkandung yang dinilai dalam ilmu dinilai sebagai pengetahuan yang benar untuk menjawab masalah-masalah dalam kehidupan manusia.

Jenis-jenis penelitian ilmiah

Penelitian dapat digolongkan / dibagi ke dalam beberapa jenis berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, antara lain berdasarkan:

(1) Tujuan;

(2) Pendekatan;

(3) Tempat;

(4) Pemakaian atau hasil / alasan yang diperoleh;

(5) Bidang ilmu yang diteliti;

(6) Taraf Penelitian;

(7) Teknik yang digunakan;

(8) Keilmiahan;

(9) Spesialisasi bidang (ilmu) garapan.

Kriteria penelitian ilmiah

1. Dapat menyatakan tujuan dengan sejelas-jelasnya,

2. Menggunakan landasan teoritis dan metode pengujian data yang relevan,

3. Mengembangkan hipotesis yang dapat diuji dari telaah teoritis atau berdasarkan pengungkapan data,

4. Telah mempunyai kemampuan untuk diuji ulang,

5. Memilih data dengan tepat sehingga hasilnya dapat dipercaya,

6. Menarik kesimpulan secara obyektif,

7. Melaporkan hasil secara parsimony,

8. Hasil penelitian dapat digeneralisasi.

components of a research proposal

Components of a Research Proposal

I. Statement of the Problem

The problem statement is the guiding theme of the proposal. This section should include a statement of the purpose of the study and should specify its objectives.

Purpose of the Study. This section should explain why the research is being conducted. It should establish the importance of the problem addressed by the research and explain why the research is needed. For example, it might establish the seriousness of juvenile antisocial behavior nationally and describe the gaps that exist in the knowledge about this behavior. It might also explain why the specific knowledge gap chosen is of particular importance.

Objectives. This section should describe what the investigator hopes to accomplish with the research. After reading this section, the reader should be clear about the questions to be asked, the kinds of answers expected, and the nature of the information to be provided by the proposed research. For example, one might propose to test a drug abuse treatment approach to determine the intervention characteristics that contribute differentially to the success of adolescent boys and girls who participate in the program. Expected outcomes might also include the provision of descriptive information not currently available. An example of this might be a comparison of arrest rates for participants in the years prior to and following participation in the program.

II. Review of the Literature

This section will review published research related to the purpose and objectives described above. It should be noted that references may be found throughout the proposal, but it is preferable for most of the literature review to be reported in this section.

A review of the literature should also relate to the hypotheses, definition and operationalization of variables, methodology and data analysis that follow. It should summarize the results of previous studies that have reported relationships among the variables included in the proposed research.

An important function of the literature review is to provide a theoretical explanation of the relationships among the variables of interest. It is most important that the review explain what mechanisms link the variables. The review can also provide descriptive information about related problems, intervention programs and target populations.

The literature review must address three areas:

  1. Topic or problem area: This part of the literature review covers material directly related to the problem being studied. There will usually be at least two substantive areas reviewed because most research involves variables that have been studied in separate substantive areas. For example, a study on some aspect of juvenile antisocial behavior suggests a review of the literatures on anti-social behavior, adolescent development and families at risk. As another example, research on the differential impact on males and females of intervention characteristics in a substance abuse program would require a review of the literature on substance abuse programs, the specific intervention characteristics in question, and pertinent research on gender differences. As another example, research on conceptualizations of work in high stress settings would suggest a review of literature on the stress factors in such settings, the concept of stress and the development of job-related attitudes.
  2. Theory area: Investigators must identify the social science theory which relates to the problem area. Examples of such theories might be sex-role theory, theories of deviance, organizational theory, small group theory, family systems theory, or conflict theory. The theory area provides the theoretical "lens" through which the writer chooses to view and understand the problem. It provides guidelines for explaining the etiology of problems and the linking mechanisms that connect variables.
  3. Methodology: Investigators must review the literature which is appropriate to various aspects of their chosen method, including design, selection of subjects, and methods of data collection. This section describes research methods and measurement approaches used in previous investigations in the area. This content should be considered in designing the proposed research and used to support the choice of design and measurement techniques. Otherwise, the investigator must explain why s/he has chosen methods or approaches that have not been used previously.

After reading the literature review, the reader should understand the problem area you have selected and the theoretical models, findings, methodologies, and measurement techniques that have been used in previous, related research efforts. The literature review should lead up to specific hypotheses, which are then listed at the end of the literature review.

III. Methodology

Subjects. Subjects can be individuals, families, groups, organizations, states, or countries, depending on the unit of analysis. This section will describe how the sample in the study will be selected. For example, will volunteers be solicited? Will every subject who volunteers be included? If not, what criteria will be used to choose those to be included? Will there be a comparison group? How will the subjects in that group be chosen? In addition to describing how subjects will be chosen, this section should provide a rationale for the selection approach taken. This rationale usually includes external validity requirements (i.e., the conditions necessary to generalize the findings to a particular target population). After reading this section, the reader should have a clear understanding of how subjects will be selected for the proposed research and of why they will be selected in that particular manner. The reader should also have a clear idea of the characteristics of the intended subjects, including age, sex, ethnicity, education, SES, and other related variables.

Design, This section will describe the type of research design to be used. Will it be an idiographic, survey, quasi-experimental or experimental design? Will it be cross-sectional or longitudinal? Will it be a retrospective or a prospective design? The design should also describe the sequence of events that will occur in conducting the research. This would include how the subjects will be divided up, what the subjects are expected to experience during the research, and when and how often they will be observed or asked for information. After reading this section, the reader should have a clear understanding of the overall design of the study.

Data Collection. This section will operationalize the variables to be included in the proposed evaluation. It is helpful to divide the variables into dependent variables, independent variables, and covariates. Dependent variables are outcomes (e.g., drug abuse, self-esteem, depression) which are affected directly by other variables. They might also include variables which are affected indirectly (e.g., arrest rates, recidivism, employment record). Independent variables can include intervention approaches, program characteristics, and subject characteristics believed to affect the dependent variables. Covariates are additional independent variables included in the research solely for the purpose of controlling for differences that might exist among subjects. These differences are controlled statistically so that they will not confound conclusions that are drawn about relationships between independent variables and dependent variables.

A description of how each variable will be measured should be included in this section. Ideally, one should measure each variable two different ways so that some estimate of measurement validity can be made. After reading this section, the reader will know the specific variables that will be included in the proposed study and, most important. how they will be measured.

IV. Data Analysis

This section will explain how the data will be analyzed once they are collected. Usually, more than one analysis is conducted. Each analysis that will be used to meet each objective listed above should be described. Also a description of the specific effects to be examined in each analysis, such as main effects, interaction effects. or simple main effects, should be included.

The unit of analysis to be used should be specified and the reason for choosing that unit should be explained. After reading this section, the reader should know which effects will guide the data analysis and in exactly what way the data are to be analyzed to meet each objective of the proposed study.

Data analyses should be specifically linked to the hypotheses so that it is clear how each hypothesis will be tested.

V. Bibliography

The bibliography should include full reference documentation for all articles and texts mentioned in the proposal. It is important that the investigator fully review relevant previous work in developing the proposal.

VI. Timetable

This section will describe the sequence of activities necessary to conduct the research. It will include the time necessary to complete each activity. After reading this section, the reader will have a clear understanding of what steps will be taken, the order in which they will occur, and the time each step will require.

Sumber: www.wisc.edu