BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Sistem Hematologi
Darah membentuk
sekitar 8 % dari berat tubuh total dan memiliki volume rata-rata 5 liter pada
wanita dan 5,5 liter pada pria (Sherwood, 2011).
Menurut Corwin (2009),
darah terdiri dari sekitar 45 % komponen sel dan 55 % plasma. Komponen sel
tersebut adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan
trombosit (platelet). Sel darah merah berjumlah 99 % dari total komponen sel;
sisanya 1 % sel darah putih dan platelet. Plasma terdiri dari air 90 % dan 10 %
sisanya dari protein plasma, elektrolit, gas terlarut, berbagai produk sisa
metabolisme, nutrien, vitamin dan kolesterol. Protein plasma terdiri dari
albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin merupakan protein plasma yang paling
banyak membantu mempertahankan tekanan osmotik plasma dan volume darah.
Globulin mengikat hormon yang tidak larut dan sisa plasma lainnya agar larut.
Proses ini memungkinkan zat-zat penting terangkut di dalam darah dari tempat
asalnya dibuat ke tempat zat-zat tersebut bekerja. Sebagai contoh, zat-zat yang
dibawa berikatan dengan protein plasma termasuk hormon tiroid, besi,
fosfolipid, bilirubin, hormon steroid dan kolesterol. Protein globulin lainnya
yaitu imunoglobulin adalah antibodi yang
ada di dalam darah untuk melawan infeksi. Fibrinogen merupakan komponen
penting dalam proses pembekuan darah.
Tabel
1. Konstituen Darah dan Fungsinya
Konstituen
|
Fungsi
|
1. Plasma
a.
Air
b.
Elektrolit
c.
Nutrien, zat sisa, gas, hormon
d.
Protein Plasma
1) Albumin
2) Globulin
·
Alfa dan beta
·
Gama
3) Fibrinogen
|
Medium transpor; membawa panas.
Eksitabilitas membran; distribusi
osmotik cairan antara CES dan CIS; menyangga perubahan pH.
Diangkut dalam darah; gas O2
darah berperan dalam keseimbangan asam-basa.
Secara umum, menghasilkan efek osmotik
yang penting dalam distribusi CES antara komprtemen vaskuler dan
interstisium; menyangga perubahan pH.
Mengangkut banyak bahan; berperan
paling besar dalam menentukan tekanan osmotik plasma.
Mengangkut banyak bahan tak larut air,
faktor pembekuan; molekul precursor inaktif.
Antibodi.
Prekursor inaktif untuk jalinan fibrin
pada pembekuan darah.
|
2. Elemen
Seluler
a. Eritrosit
b. Leukosit
1) Neutrofil
2) Eosinofil
3) Basofil
4) Monosit
5) Limfosit
·
Limfosit B
·
Limfosit T
c.
Trombosit
|
Mengangkut O2 dan CO2
Fagosit yang menelan bakteri dan
debris.
Menyerang cacing parasitik; penting
dalam reaksi alergi.
Mengeluarkan histamin, yang penting
dalam reaksi alergik dan heparin yang membantu membersihkan lemak dari darah.
Dalam transit menjadi makrofag
jaringan.
Menghasilkan antibody.
Respon imun seluler.
Hemostasis.
|
2.2 Hemostasis
Hemostasis
adalah penghentian perdarahan melalui mekanisme vasokontriksi dan koagulasi
fisiologis atau melalui cara-cara bedah (Dorland, 2011). Menurut Sherwood
(2011), hemostasis adalah penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang
rusak.
Perdarahan
terjadi ketika pembuluh darah mengalami kerusakan dan tekanan di bagian dalam pembuluh
darah lebih besar daripada tekanan di luarnya sehingga memaksa darah keluar
dari defek tersebut (Sherwood, 2011).
Menurut
Sherewood (2011), hemostasis melibatkan tiga langkah utama, yaitu spasme
vaskuler (vasokontriksi), pembentukan sumbat koagulasi (platelet plug) dan koagulasi darah (pembentukan bekuan darah).
2.2.1
Spasme
Vaskuler (Vasokontriksi)
Pembuluh darah
yang terpotong atau robek akan segera berkontriksi. Mekanisme yang mendasari
hal ini belum jelas tetapi diperkirakan merupakan suatu respon intrinsik yang
dipicu oleh suatu zat parakrin yang dilepaskan secara lokal dari lapisan dalam
(endotel) pembuluh darah yang cedera. Kontriksi atau spasme vaskuler ini
memperlambat darah mengalir melalui defek dan memperkecil kehilangan darah.
Permukaan-permukaan endotel yang saling berhadapan juga saling menekan oleh
spasme vaskuler awal ini sehingga permukaan tersebut menjadi lekat satu sama
lain dan semakin menambal pembuluh yang rusak. Tindakan-tindakan fisik ini
tidak cukup untuk mencegah secara sempurna pengeluaran darah lebih lanjut
tetapi dapat memininalkan aliran darah melalui pembuluh yang rusak sampai
tindakan hemostasis lain dapat benar-benar menyumbat kebocoran tersebut
(Sherwood, 2011).
2.2.2
Pembentukan
sumbat koagulasi (Platelet Plug)
Trombosit dalam
keadaan normal tidak melekat ke permukaan endotel pembuluh darah yang licin,
tetapi jika permukaan ini rusak akibat cedera pembuluh makan trombosit menjadi
aktif oleh kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa di jaringan ikat di
bawah endotel. Setelah teraktifkan, trombosit cepat melekat ke kolagen dan
membentuk sumbat trombosit hemostasis di tempat cedera. Ketika muli menggumpal,
trombosit-trombosit tersebut mengeluarkan beberapa bahan kimia penting dari
granula simpanannya. Di antara zat-zat kimia tersebut terdapat adenosin
difosfat (ADP), yang menyebabkan permukaan trombosit darah yang terdapat di
sekitar menjadi lekat sehingga trombosit tersebut melekat ke lapis pertama
gumpalan trombosit. Trombosit-trombosit yang baru melekat ini melepaskan lebih
banyak ADP, yang menyebabkan semakin banyak trombosit menumpuk di tempat defek;
karena itu, di tempat defek cepat terbentuk sumbat trombosit melalui mekanisme
umpan balik positif (Sherwood, 2011).
Sumbat trombosit
tidak terus terbentuk dan meluas ke permukaan dalam pembuluh darah normal di
sekitarnya, hal ini disebabkan oleh ADP dan bahan kimia lain yang dikeluarkan
trombosit aktif merangsang pelepasan prostasikllin dan nitrat oksida dari
endotel normal sekitar, kedua bahan kimia ini menghambat agregasi trombosit,
sehingga sumbat trombosit bersifat terbatas di defek dan tidak menyebar ke
jaringan vaskuler sekitar yang tidak rusak (Sherwood, 2011).
Sumbat trombosit
saja secara fisik menambal kerusakan pembuluh tetapi juga memungkinkan
dilakukannya tiga fungsi penting, yaitu: (1) kompleks aktin-miosin di dalam
trombosit yang membentuk sumbat tersebut berkontraksi untuk memadatkan dan
memperkuat sumbat yang mula-mula longgar, (2) bahan-bahan kimia yang
dikeluarkan oleh sumbat trombosit mencakup beberapa vasokonstriktor kuat
(serotonin, epinefrin dan tromboksan A2), yang memicu konstriksi
kuat pembuluh yang bersangkutan untuk memperkuat vasospasme awal, (3) sumbat
trombosit membebaskan bahan-bahan kimia lain yang meningkatkan koagulasi darah.
Meskipun mekanisme pembentukan sumbat trombosit saja sering sudah cukup untuk
menambal robekan-robekan kecil di kapiler dan pembuluh halus lain yang terjadi
berkali-kali dalam sehari, lubang yang lebih besar di pembuluh darah memerlukan
pembentukan bekuan darah agar perdarahan dapat dihentikan seluruhnya (Sherwood,
2011).
2.2.3
Koagulasi
darah (Pembentukan Bekuan Darah)
Koagulasi darah
atau pembekuan darah adalah transformasi darah dari cairan menjadi gel padat.
Pembentukan bekuan di atas sumbat trombosit memperkuat dan menopang sumbat,
meningkatkan tambalan yang menutupi kerusakan pembuluh. Selain itu, sewaktu
darah di sekitar defek pembuluh memadat, darah tidak lagi dapat mengalir.
Pembekuan darah adalah mekanisme hemostasis tubuh yang paling kuat. Mekanisme
ini diperlukan untuk menghentikan perdarahan dari semua defek, kecuali
defek-defek yang paling kecil (Sherwood, 2011).
Langkah terakhir
dalam pembentukan bekuan adalah pengubahan fibrinogen, suatu protein plasma
yang dapat larut dan berukuan besar yang dihasilkan oleh hati dan secara normal
selalu ada di dalam plasma, menjadi fibrin yaitu suatu molekul tak larut
berbentuk benang. Perubahan menjadi fibrin ini dikatalis oleh enzim trombin di
tempat cedera. Molekul-molekul fibrin melekat ke permukaan pembuluh yang rusak,
membentuk jala longgar yang menjerat sel-sel darah, termasuk agregat trombosit.
Massa yang terbentuk, atau bekuan, biasanya tampak merah karena banyaknya sel
darah merah yang terperangkap, tetapi bahan dasar bekuaan adalah fibrin yang
berasal dari plasma, kecuali trombosit yang berperan penting dalam menyebabkan
perubahan fibrinogen menjadi fibrin, pembekuan dapat berlangsung tanpa adanya
sel-sel darah lain (Sherwood, 2011).
Jala fibrin awal
ini relatif lemah, karena untai-untai fibrin saling menjalin secara longgar.
Namun, dengan cepat terbentuk ikatan kimia antara untai-untai fibrin yang
berdekatan untuk memperkuat dan menstabilkan jala bekuan ini. Proses
pembentukan ikatan silang ini dikatalis oleh suatu faktor pembekuan yang
dikenal sebagai faktor XIII (fibrin-stabilizing
factor), yang secara normal terdapat pada plasma dalam bentuk inaktif
(Sherwood, 2011)
Menurut Price dan Wilson (2005),
faktor-faktor pembekuan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Faktor-faktor Pembekuan
Faktor-faktor Pembekuan
|
|
I
|
Fibrinogen:
prekursor fibrin (protein terpolimerisasi).
|
II
|
Protrombin:
prekursor enzim proteolitik trombin dan mungkin akselerator lain pada
konversi protrombin.
|
III
|
Tromboplastin:
aktivator lipoprotein jaringan pada protrombin.
|
IV
|
Kalsium:
diperlukan untuk aktivasi protrombin dan pembentukan fibrin.
|
V
|
Akselerator
plasma globulin: suatu faktor plasma yang mempercepat konversi protrombin
menjadi trombin.
|
VI
|
Istilah ini
tidak dipakai
|
VII
|
Akselerator
konversi protrombin serunm: suatu faktor serum yang mempercepat konversi
protrombin.
|
VIII
|
Globulin
antihemofilik (AHG): suatu faktor plasma yang berkaitan dengan faktor III
trombosit dan faktor Christmas (IX); mengaktivasi protrombin.
|
IX
|
Faktor
Christmas: faktor serum yang berkaitan dengan faktor-faktor trombosit III dan
VIIIAHG; mengaktivasi protrombin.
|
X
|
Faktor
Stuart-Prower: suatu faktor plasma dan serum; akselerator konversi
protrombin.
|
XI
|
Pendahulu
tromboplastin plasma (PTA): suatu faktor plasma yang diaktivasi oleh faktor
Hagemen (XII); akselerator pembentukan trombin.
|
XII
|
Faktor
Hageman: suatu faktor plasma; mengaktivasi PTA (XI).
|
XIII
|
Faktor
penstabil fibrin: faktor plasma: menghasilkan bekuan fibrin yang lebih kuat
tidak larut di dalam urea.
Faktor Fletcher
(prakalikrein): faktor pengaktivasi-kontak
Faktor
Fitzgerald / HMWK (kilinogen berat molekul tinggi): faktor pengaktivasi
kontak.
|
2.3 Gangguan Hemostasis
Menurut
Hoffbrand (2005), perdarahan abnormal dapat disebabkan oleh kelainan vaskuler,
trombositopenia, gangguan fungsi trombosit atau gangguan koagulasi.
Pola perdarahan
yang terjadi relatif dapat diduga tergantung pada etiologinya. Kelainan
vaskuler dan trombosit cenderung disertai perdarahan dari selaput lendir pada
kulit, sedangkan pada kelainan koagulasi darah sering terjadi pada sendi atau
jaringan lunak (Hoffbrand, 2005).
Kelainan
vaskuler adalah sekelompok keadaan heterogen, yang ditandai oleh mudah memar
dan perdarahan spontan dari pembuluh darah kecil. Kelainan yang mendasari
terletak dalam pembuluh darah itu sendiri atau dalam jaringan ikat perivaskuler.
Sebagian besar kasus perdarahan akibat defek vaskuler saja tidak bersifat
parah. Perdarahan yang seringkali terjadi terutama pada kulit menimbulkan
petekie, ekimosis atau keduanya. Pada beberpa kelainan, terdapat juga
perdarahan dari selaput lendir (Hoffbrand, 2005).
Perdarahan
abnormal yang berkaitan dengan trombositopenia atau fungsi trombosit yang
abnormal yang ditandai oleh purpura kulit spontan, perdarahan mukosa dan
perdarahan berkepanjangan setelah trauma (Hoffbrand, 2005).
Gangguan
pembekuan yang didapat biasanya berkaitan dengan defisiensi berbagai faktor
pembekuan, misalnya defisiensi vitamin K dapat menyebabkan gangguan pembekuan
yang parah, karena zat gizi tersebut esensial untuk sintesis protrombin dan
faktor pembekuan VII, IX dan X. Hati merupakan tempat pembentukan beberapa
faktor pembekuan; oleh karena itu, penyakit parenkim hati sering merupakan
penyebab diatesis perdarahan (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007).
Selain itu dapat
terjadi defisiensi herediter dari setiap faktor pembekuan. Defisiensi ini
biasanya terjadi secara tunggal (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007). Menurut
Hoffbrand (2005), penyakit yang sering dijumpai pada kelainan pembekuan darah
herediter adalah hemofilia A, hemofilia B dan penyakit von Willebrand.
2.4 Hemofilia
2.4.1
Definisi
Hemofilia
Menurut Price
dan Wilson (2005), hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau
didapat yang paling sering dijumpai, bermanifestsi sebagai episode perdarahan
intermiten.
Hemofilia adalah
diatesis hemoragik herediter akibat defisiensi faktor koagulasi darah (Dorland,
2011).
Hemofilia adalah
penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan
(herediter) secara sex-linked recessive
pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit
herediter tetapi sekitar 20-30 % pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan
gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat
lingkungan endogen maupun eksogen (Sudoyo dkk, 2009).
2.4.2
Epidemiologi
Hemofilia
Penyakit ini
bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A sekitar
1:10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1:25.000-30.000 orang. Belum ada data
mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus
dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai
dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa
memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan
diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga
(Sudoyo dkk, 2009).
2.4.3
Jenis
dan Etiologi Hemofilia
Saat ini dikenal
2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked
recessive, yaitu hemofilia A (hemofilia klasik) akibat defisiensi atau
disfungsi faktor pembekuan VIII (FVIIIc) dan hemofilia B (Christmas disease) akibat
defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan IX (faktor Christmas). Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahan
akibat kekurangan faktor XI yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35 (Sudoyo dkk, 2009).
Menurut Sudoyo
dkk (2009), gen faktor VIII dan IX terletak pada kromosom X serta bersifat
resesif, maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier, XXh) dan
bermanifestasi klinis pada laki-laki (pasien, XhY); dapat bermanifestasi
klinis pada perempuan bila kedua kromosom X pada perempuan terdapat kelainan (XhXh).
2.4.4
Klasifikasi
Hemofilia
Menurut Sudoyo
dkk (2009), Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau aktivitas
faktor pembekuan normal sekitar 0,5-1,5 U/dl (50-150%); sedangkan pada
hemofilia berat bila kadar faktor pembekuan <1 1-5="" 5-30="" akibat="" atau="" berarti="" berat="" cukup="" dan="" dapat="" ekstraksi="" gigi="" hemofilia="" iris="" jarang="" jatuh="" kecuali="" kuat="" lain-lain="" luka="" lutut="" mengalami="" pada="" pasien="" perdarahan="" ringan="" sedang="" sedangkan="" sekali="" sendi="" seperti="" serta="" siku="" sirkumsisi="" span="" spontan="" terbentur="" terdeteksi="" terjadi="" tidak="" trauma="" yang="">1>
Tabel
3. Hubungan Aktivitas Faktor Pembekuan dengan Manifestasi Klinis Perdarahan
Hubungan
aktivitas F VIII dan F XI dengan Manisfestasi Klinis Perdarahan
|
|||
Berat
|
Sedang
|
Ringan
|
|
Aktivitas F VIII atau F IX-U/ml (%)
|
<0 span="">0>
|
0,01-0,05 (1-5)
|
> 0,05 (>5)
|
Frekuensi Hemofilia A (%)
|
70
|
15
|
15
|
Frekuensi Hemofilia B (%)
|
50
|
30
|
20
|
Usia awitan
|
≤ 1 tahun
|
1-2
tahun
|
>2 tahun
|
Gejala neonatus
|
sering PCB kejadian ICH
|
sering PCB jarang ICB
|
tidak pernah PCB jarang sekali ICB
|
Perdarahan otot atau sendi
|
tanpa trauma
|
trauma ringan
|
trauma cukup kuat
|
Perdarahan SSP
|
risiko tinggi
|
risiko sedang
|
jarang
|
Perdarahan post operasi
|
sering dan fatal
|
butuh bebat
|
pada operasi besar
|
Perdarahan oral (trauma, cabut gigi)
|
sering terjadi
|
dapat terjadi
|
kadang terjadi
|
Keterangan:
PCB : Post
Circumcisional Bleeding
ICH : Intracranial
Hemorrhage
2.4.5
Manifestasi
Klinis Hemofilia
Menurut Sudoyo
dkk (2009), perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang sering
dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara spontan atau
akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar
merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia
(aktifitas faktor pembekuan). Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu
berupa hemartrosis, hematom subkutan/intramuskuler, perdarahan mukosa mulut,
perdarahan intrakranial, epistaksis, dan hematuria. Sering pula
dijumpai
perdarahan yang berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi).
Hemartrosis
paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut,
sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan dan lainnya.
Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibanding sendi peluru, karena
ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat gerakan
volunter maupun involunter sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban
tersebut karena fungsinya (Sudoyo dkk, 2009).
Menurut Behrman,
Kliegman dan Arvin (1999), ciri khas hemofilia adalah hemartrosis. Perdarahan
ke dalam sendi siku, lutut dan pergelangan kaki menyebabkan rasa nyeri dan
pembengkakan serta pembatasan gerakan sendi.
Hematoma
intramuskuler terjadi pada otot-otot fleksor besar, khususnya pada otot betis,
otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini
sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi
saraf dan kontur otot (Sudoyo dkk, 2009).
2.4.6
Diagnosis
Hemofilia
Menurut Sudoyo
dkk (2009), sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan cara terbaik untuk
melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun terdapat 20-30%
kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyadi F
VIII atau F IX. Seseorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika
terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematom) atau riwayat
perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa
riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebelum
memutuskan pemeriksaan penunjang lainnya.
Kelainan
laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostatis, seperti pemanjangan masa
pembekuan (CT) dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT), abnormalitas
uji thromboplastin generation, dengan
masa perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normal (Sudoyo dkk, 2009).
Diagnosis
definitif ditegakkan dengan berkurangnya aktivitas F VIII atau F IX dan jika
sarana pemeriksaan sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen
F VIII atau F IX. Aktivitas F VIII atau F IX dinyatakan dalam U/ml dengan arti
aktivitas faktor pembekuan dalam 1 ml plasma normal adalah 100%. Nilai normal
aktivitas F VIII atau F IX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150%. Harus diingat
adalah membedakan hemofilia A dengan penyakit von Willebrand, dengan melihat
rasio F VIIIc : F VIIIag dan aktivitas FvW (uji ristosetin) rendah (Sudoyo dkk,
2009).
Tabel 4. Gambaran Klinis dan
Laboratorium
Diagnosis
antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko. Pemeriksaan
aktivitas F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester
kedua dapat membantu menentukan status janin terhadap kerentanan hemofilia A.
Identifikasi gen F VIII dan petanda gen tersebut lebih baik dan lebih
dianjurkan (Sudoyo dkk, 2009).
Menurut Sudoyo
dkk (2009), seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat hemofilia (karier)
jika dia memiliki lebih dari satu saudara laki-laki dan seorang anak laki-laki
pasien hemofilia atau ayahnya pasien hemofilia.
Deteksi pada
hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung rasio aktivitas F VIIIc
dengan antigen F VIIIvW. Jika nilai kurang dari 1 memiliki ketepatan dalam
menentukan hemofilia karier sekitar 90%; namun hati-hati pada keadaan hamil,
memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya penyakit hati karena dapat
meningkatkan aktivitas F VIIIc. Aktivitas F VIII rata-rata pada karier 50%
tetapi kadang-kadang < 30% dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma atau
pembedahan. Analisis genetika dengan menggunakan DNA probe, yaitu dengan cara mencari lokus polimorfik pada kromosom X
akan memberikan informasi yang lebih tepat (Sudoyo dkk, 2009).
2.4.7
Patogenesis
Hemofilia
Faktor VIII dan
faktor IX diperlukan dalam pembentukan tenase
complex yang akan mengaktifkan faktor X. Defisiensi faktor VIII atau faktor
IX mengganggu jalur intrinsik sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan
fibrin. Akibatnya terjadilah gangguan koagulasi (Bakta, 2006).
2.4.8
Tatalaksana
Hemofilia
A.
Terapi
Suportif
Menurut Sudoyo
dkk (2009), pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan kadar faktor
anti hemofilia yang berkurang. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1) Melakukan
pencegahan baik menghindari luka atau benturan.
2) Merencanakan
suatu tidakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan
sekitar 30-50%.
3) Untuk
mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka dilakukan tindakan pertama seperti rest, ice, compressio, elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.
4) Kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid sangat membantu untuk menghilang proses inflamasi pada
sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis. Pemberian
prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala
sisa berupa kaku sendi (artrosis) yang mengganggu aktivitas harian serta
menurunkan kualitas hidup pasien hemofilia.
5) Analgetika.
Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat dan
sebaiknya dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi trombosit (harus dihindari
pemakaian aspirin dan antikoagulan).
6) Rehabilitasi
medik. Sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif dan holistik
dalam sebuah tim, karena keterlambatan pengelolaan akan menyebabkan kecacatan
dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi
medik artritis hemofilia meliputi latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas
(hati-hati), penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta
edukasi.
B.
Terapi
Pengganti Faktor Pembekuan
Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu
untuk menghindari kecacatan fisik (trauma sendi) sehingga pasien hemofilia
dapat melakukan aktivitas normal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut
dibutuhkan faktor anti hemofilia (AHF) yang cukup banyak dengan biaya yang
tinggi (Sudoyo dkk, 2009).
Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus
hemofilia dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX, baik rekombinan,
konsentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak faktor-faktor
pembekuan tersebut. Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai
luka atau pembengkakan membaik; serta khususnya selama fisioterapi (Sudoyo dkk,
2009).
C.
Konsentrat
F VIII atau F IX
Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang
dengan episode perdarahan serius membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan
kadar tinggi yang harus diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah dilemahkan
virusnya (Sudoyo dkk, 2009).
Faktor IX tersedia dalam 2 bentuk yaitu prothrombin complex consentrates (PCC)
yang berisi F II, VII, IX, X dan purified
F IX consentrates yang berisi sejumlah F IX tanpa faktor yang lain. PCC
dapat menyebabkan trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena tersebar yang
disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor pembekuan lain. Resiko ini dapat
meningkat pada pemberian F IX berulang, sehingga purified konsentrat F IX lebih diinginkan Waktu paruh F VIII adalah
8-12 jam sedangkan F IX 24 jam dan volume distribusi dari F IX kira-kira 2 kali
dari F VIII (Sudoyo dkk, 2009).
Metode
perhitungan alternatif adalah satu unit F VIII mampu meningkatkan aktivitasnya
di dalam plasma 0,02 U/ml (2%) selama 12 jam; sedangkan satu unit F IX dapat
meningkatkan aktivitasnya didalam plasma sampai 0,01 U/ml (1%) selama 24 jam (Sudoyo
dkk, 2009).
Menurut
Sudoyo dkk (2009), penuntun penggunaan pengganti faktor pembekuan pada
perdarahan hemofilia tergantung kasus per kasus, dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5. Pemberian Faktor Pembekuan
pada Perdarahan Pasien Hemofilia
D.
Kriopresipitat AHF
Kriopresipitat
AHF adalah salah satu komponen darah non seluler yang merupakan konsentrat
plasma tertentu yang mengandung F VIII, fibrinogen dan faktor von Willebrand.
Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan. Satu kantong
kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu kantong kriopresipitat yang
mengandung 100 U F VIII dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek samping dapat terjadi
reaksi alergi dan demam (Sudoyo dkk, 2009).
E.
1-deamino 8-D Arginin Vasopresin
(DDAVP) atau Desmopresin
Hormon
sintetik anti deuretik (DDAVP) merangsang peningkatan kadar aktivitas F VIII di
dalam plasma sampai 4 kali, namun bersifat sementara. Sampai saat ini mekanisme
kerja DDAVP belum diketahui seluruhnya, tetapi dianjurkan untuk diberikan pada
hemofilia A ringan dan sedang serta juga pada karier perempuan yang
simptomatik. Pemberian dapat secara intravena dengan dosis 0,3 mg/kgBB dalam
30-50 NaCl 0,9% selama 15-20 menit dengan lama kerja 8 jam. Efek puncak pada
pemberian ini dicapai dalam waktu 30-60. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan
konsentrat DDAVP dalam bentuk semprot intranasal. Dosis yang dianjurkan untuk
pasien dengan BB < 50 kg adalah 150 mg (sekali semprot), dan 300 mg untuk
pasien dengan BB > 50 kg (dua kali semprot), dengan efek puncak terjadi
setelah 60-90 menit (Sudoyo dkk, 2009).
Pemberian
DDAVP untuk pencegahan terhadap kejadian perdarahan sebaiknya dilakukan setiap
12-24 jam. Efek samping yang dapat terjadi berupa takikardi, flushing, thrombosis (sangat jarang) dan
hiponatremia. Juga dapat timbul angina pada pasien dengan PJK (Sudoyo
dkk, 2009).
F.
Antifibrinolitik
Preparat
antifibrinolitik digunakan pasien hemofilia B utnuk menstabilisasikan bekuan
atau fibrin dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat
membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan perdarahan; terutama pada
kasus perdarahan mukosa mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak
mengandung enzim fibrinolitik. Epsilon
aminocaproic acid (EACA) dapat diberikan secara oral maupun intravena
dengan dosis awal 200 mg/kgBB, diikuti 100 mg/kgBB setiap 6 jam (maksimum 5g
setiap pemberian). Asam traneksamat diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB (maksimum
1,5g) secara oral, atau 10 mg/kgBB (maksimum 1g) secara intravena setiap 8 jam.
Asam traneksamat juga dapat dilarutkan 10% bagian dengan cairan parenteral,
terutama salin normal (Sudoyo dkk, 2009).
G.
Terapi Gen
Penelitian
terapi gen dengan mengunakan vektor retrovirus, adenovirus dan adeno-associated virus memberikan
harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini sedang intensif dilakukan penelitian
invivo dengan memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen antihemofilia ke dalam
sel hati. Gen F VIII relatif lebih sulit dibandingkan gen F IX, karena
ukurannya (9 kb) lebih besar; namun akhir tahun 1998 para ahli berhasil
melakukan pemindahan plamid-based factor
VIII secara ex vivo ke fibroblas (Sudoyo
dkk, 2009).
2.4.9
Komplikasi
Hemofilia
Perdarahan
berulang pada hemofilia dapat menyebabkan perubahan degeneratif, osteoporosis,
atrofi otot dan akhirnya sendi yang tidak dapat digunakan atau tidak dapat
digerakkan. Perdarahan intrakranial dan perdarahan ke dalam leher merupakan
gawat darurat yang mengancam nyawa (Behrman, Kliegman dan Alvin, 1999).
Menurut Sudoyo
dkk (2009), komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati hemofilia yaitu
penimbunan darah intra artikuler yang menetap dengan akibat degenerasi kartilago
dan tulang sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan sampai
rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak dikelola dengan baik juga dapat
menyebabkan sinovitis kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang
tidak kunjung henti. Sendi yang sering mengalami komplikasi adalah sendi lutut,
pergelangan kaki dan siku. Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis
sering ditemukan jika tidak dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan
faktor pembekuan darah bagi hemofilia sedang dan berat sesuai dengan macam
tindakan medis itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi intra
abdomen atau intra torakal), sedangkan perdarahan akibat trauma sehari-hari
yang tersering berupa hemartrosis, perdarahan intramuskuler dan hematom. Perdarahan
intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi berakibat fatal.
Perdarahan
berulang ke dalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago artikularis disertai
gejala-gejala artritis (Price dan Wilson, 2005).
Perdarahan
jaringan lunak, terutama perdarahan subkutis dan intramuskulus dapat
menyebabkan kerusakan pada otot dan saraf akibat tekanan. Hematoma ke dalam
jaringan lunak kepala dan leher dapat menekan jalan napas dan menyebabkan
kematian melalui asfiksia. Perdarahan ke dalam saluran kemih dan pencernaan
sering terjadi, tetapi biasanya tidak menyebabkan penyulit jangka-panjang.
Perdarahan intrakranium, di pihak lain, kadang-kadang terjadi tanpa
predisposisi trauma yang nyata dan dapat sangat membahayakan (Sacher dan
Richard, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made.
2006. Hematologi Klinik Ringkas.
Jakarta: EGC.
Behrman,
Kliegman dan Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. Jakarta: EGC.
Corwin,
Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A. Newman.
2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland.
Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A.V.,
dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi.
Jakarta: EGC.
Kumar, Cotran
dan Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi
Robbins. Jakarta: EGC.
Price dan
Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Sacher dan
Richard. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC.
Sherwood,
Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari
Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W,
dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: InternaPublishing.